Cari Disini

Selasa, 27 November 2012

the way you've hurt me (3)


Kamis, 21 Juli 2011
                02:17.
                Aku terbangun dari tidurku. Kulihat jam diponselku. Raka ulang tahun.
       Zhu ni shengri kuaile :)
                Send to Raka.

                Hari ini adalah hari kedua menjelang terakhir UAS. Mata kuliah kali ini aku satu ruangan dengan Raka. Namun karena sahabat-sahabatku ada diruang sebelah, maka sebelum masuk, aku bersama dengan sahabat-sahabatku diruangan sebelah ruanganku. Begitu juga dengan Raka.
                Ketika aku sampai diruangan itu, Zainal meledekku. “Zhu ni shengri kuaile”. Akupun mendelik.
                Raka mendekatiku. “Sms semalem artinya apa?” tanyanya.
                “Hmmm, happy birthday” jawabku, malu.
                “Oh..” Raka tersenyum. “Kamu orang pertama yang ngucapin neng”. Aku hanya mengangguk, tidak tahu harus menjawab apa.
                Aku langsung mendekati Karisa, Wulan dan Lidya. Kami membahas materi yang kira-kira akan keluar pada soal UAS. Ketika sudah selesai akupun berdiri. Namun kertas materi yang tengah kupegang terjatuh. Aku mengambilnya. Ketika aku berdiri kembali, Wulan menarik tangan seseorang yang sedang berada dibelakangku. Raka. Walhasil aku dan Raka hampir bertabrakan dengan posisi aku memunggungi Raka. Raka memegang kedua lenganku. Ah, si Wulan itu. Kesalku. Lagi-lagi kami jadi bahan ledekan sahabat-sahabatku dan Raka.
***
Sabtu, 23 Juli 2011
                Pagi ini aku ingin melihat perkembangan hubungan Raka dengan Sella. Disana aku dapat melihat jika hubungan mereka sedang tidak baik. Karena aku kah? Aku menerka. Aku memang mempunyai perasaan terhadap Raka, namun aku tidak ingin menjadi orang ketiga.
***
                Siang ini Karisa mengabariku bahwa Raka masuk UGD. Kenapa? Ada apa dengan Raka?? Aku bingung, panik. Karisa menyuruhku untuk bertanya pada Sultan. Akupun langsung mengirim pesan ke Sultan. Dia bilang bahwa Raka terkena siku pada kepala bagian belakang dari lawan mainnya dilapangan futsal. Ya, hari ini memang Raka mengikuti acara dari Organisasi olahraga futsal di kampus.
                Kata Sultan, aku sangat khawatir. Aku tahu ia meledekku. Tapi dalam benakku, aku memang mengkhawatirkan Raka.
***
Senin, 1 Agustus 2011
                Waktu terus berputar, hari pun terus berganti, semakin lama aku semakin mengetahui hubungan Raka dan Sella.
                Rapat hari ini untuk membahas tentang buka puasa bersama. Ya, hari ini adalah hari pertama umat Muslim menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Setelah rapat usai, aku memisahkan diri, membuka ponsel dan membaca kembali semua pesan yang ada diponselku. Janggal. Entah mengapa, yang aku inginkan hanya menangis saat ini. Hingga akhirnya seniorku melihatku yang duduk menyendiri.
                “Kenapa, Nin?” tanya Kak Cici, seniorku itu.
                “Nggak apa-apa, Kak..” jawabku sedikit berbohong.
                “Cerita aja sih, kayak baru kenal gue aja lo” katanya kemudian. Aku memang terkadang berbagi cerita kepada Kak Cici. Dia adalah orang yang menyenangkan untuk bisa berbagi cerita. “Raka?” tanyanya.
                Aku mengangguk.
                “Kenapa dia?”
                “Hmm, dia udah punya cewek, Kak. Aku ngerasa dibohongin banget sama dia”  aku merasakan wajahku sangat panas. Aku pun melanjutkan ceritaku hingga aku sesenggukkan karena menangis.
                Tiba-tiba Karisa datang dan bertanya mengapa aku menangis. Kak Cici menceritakan kepada Karisa apa yang telah kuceritakan tadi. Karisa mengerti. Kemudian ia melirik Wulan yang duduk tak jauh dari kami. Wulan hanya tersenyum. Misterius. Lalu mereka mengajakku shalat Dzuhur.
                Seusai shalat, Karisa mendekatiku. “Nin, sebelumnya gue mau minta maaf sama lo” katanya.
                “Maaf kenapa?” tanyaku heran.
                “Jujur, gue, Wulan sama Lidya udah tau kalo sebenernya Raka udah punya cewek” Karisa menunduk.
                “Udah tau? Maksudnya?” aku makin tidak mengerti.
                “Kemaren sebelum UAS, gue sama Wulan ketemu sama Sultan dan Zainal diruang Akademik. Kita berdua ngomong sama mereka tentang hubungan lo sama Raka. Sekaligus minta penjelasan siapa cewek itu.” Karisa menarik napas sebelum melanjutkan ceritanya. “Disitu Sultan bilang kalo Raka sayang sama lo, tapi dia juga sayang sama si Sella itu. Sultan bilang kalo dia sama Zainal udah nasihatin Raka, tapi Raka diam. Gue sempet kesel sampai-sampai gue narik kerah bajunya Sultan. Padahal disana lagi ramai banget waktu itu, makanya orang-orang pada ngeliatin. Gue ngancem mereka berdua kalo sampai gue tau lo disakitin sama temennya itu, gue bilang mereka semua harus berhadapan sama gue. Gue juga sempet ngomong sama Raka sebelum itu untuk nggak coba buat nyakitin lo, Nin, tapi dia malah bilang kalo gue, Wulan atau Lidya untuk nggak usah ikut campur hubungan antara dia sama lo. Makanya kita bertiga diam, Nin.” Jelasnya.
                “Lidya juga tau?” tanyaku, tak percaya.
                “Iya, Nin, Lidya tau. Nih lo baca.” Karisa memberitahuku pesan dari Lidya di ponselnya.
                Yang sabar ya nin, aku tau rasanya kya apa, dbohongin sma org yg kita syg trus shbat2 anin jga ga ngasih tau ttg smuanya sma anin. Maaf ya nin, kita gmau nutupin apa2 kok, kita cuma pngen anin tau ttg itu sndiri drpd dr org lain yg nanti mlh ngbuat anin tambah sakit. Percaya nin, dr mslh ini, anin tau mna yg baik atau ga. Allah pasti ngsh yg lbh baik lg drpd dia. Keep smile sayang.. aku, karisa sma wulan pasti akn dukung kmu ;) ayo senyum skrg :*
                Aku hanya diam setelah membaca pesan dari Lidya. Merasa dibohongi. Pasti. Hanya saja aku bingung dengan apa yang harus aku lakukan.
                “Kita cuma mau yang terbaik buat lo aja kok, Nin.” Kata Wulan, disertai anggukan setuju dari Karisa.
                Mendengar itu, aku hanya bisa tersenyum. Tersenyum wajar lebih tepatnya.
***
                Hari-hari berikutnya aku jalani seperti biasa. Hanya saja aku tidak ingin terlalu memikirkan tentang Raka.

Minggu, 7 Agustus 2011
                Sudah tiga hari aku terbaring lemah dikasur empukku. Imbas dari kelelahan tubuhku ialah sakit. Dalam waktu tiga hari itu ada saja yang terjadi. Seperti hari ini. Ryan. Senior dikampusku menyatakan cintanya padaku. Bukan hanya kali ini saja ia mengutarakan perasaannya itu. Melainkan sebelum aku dekat dengan Raka, ia sudah melakukan hal itu. Bahkan berkali-kali. Namun hal itu tak pernah aku hiraukan.
                Hari ini ia seperti mengemis cinta padaku. Aku tak tega. Dengan berat hati dan dengan perasaan yang amat sangat bersalah, akhirnya aku menerima cintanya.
***
Rabu, 10 Agustus 2011
                Aku merasa bahwa aku tidak dapat membalas cinta dari Ryan. Akhirnya aku putuskan untuk menyudahi hubungan kami. Ryan sempat marah dan tidak terima. Aku mengerti. Sulit pasti baginya menerima kenyataan bahwa aku –orang yang menerima untuk menjadi kekasihnya– malah tidak dapat membalas perasaannya.
***
                Siang ini aku harus ke kampus untuk pembuatan iklan diradio kampusku. Aku dan Raka masih saling menghubungi. Bahkan hari ini aku dan dia sempat beradu argumen tentang kami. Aku tidak menyukai bahwa ternyata Sella dapat melihat segala aktivitasku melalui facebook. Bukan karena aku dan gadis itu berteman, melainkan gadis itu mengetahui password facebook Raka. Akhirnya tanpa aku meminta, Raka memberikan password facebooknya kepadaku. Akupun demikian. Dan dari sini semua berawal.
Sabtu, 13 Agustus 2011
                Waktu saat ini menunjukkan pukul 02:09 WIB. Aku belum bisa memejamkan mataku. Hubunganku dengan Raka agak membaik. Sebenarnya, hal yang membuatku tidak dapat memejamkan mataku adalah hingga saat ini, aku masih saling mengirim pesan singkat.
                Pukul 02:13. Kami menyudahi percakapan lewat pesan itu. Raka menyuruhku untuk tidur karena nanti harus bangun lagi untuk makan sahur. Setelah beberapa menit aku mencoba untuk tidur, aku kembali melihat jam diponselku. Insomnia. Aku membuka facebook selular. Entah mengapa, aku ingin sekali melihat pesan yang ada di facebook Raka. Ketika aku ingin membuka halaman kedua dari pesan, aku salah meng-klik. Yang aku buka adalah arsip pesan. Karena sudah kepalang tanggung, akhirnya aku membuka satu per satu pesan disana. Ada satu nama yang pernah kulihat pada ‘Orang-orang yang Anda blokir’ dari facebook Raka itu.
                Al Esa Navisa.
                Aku penasaran. Aku membuka pesan itu. Ada yang janggal. Mengapa yang mereka bahas adalah pembahasan yang biasa dibahas orang dewasa?  Tanyaku, entah pada siapa. Keterlambatan haid? Aku semakin bingung. Perasaanku sangat tidak enak. Aku semakin ingin mengetahui kelanjutan dari pesan itu. Nihil. Akhirnya aku membuka pesan-pesan lain yang kiranya ada hubungannya dengan pesan itu. Ada dua pesan. Dari dua temannya. Yang satu membahas tentang kebidanan, dan yang satunya lagi tentang bagaimana cara menggugurkan kandungan serta nanas sebagai buah pendukung agar aman.
                Napasku terasa sesak setelah membaca pesan-pesan itu. Aku tidak dapat tidur hingga waktunya sahur tiba.
***
Senin, 15 Agustus 2011
                “mau ngomong apa, Nin?” tanya Raka ketika bertemu denganku.
                “iya, nanti dulu” aku mengulur waktu karena Karisa, Lidya dan Wulan ada didekatku.
                “eh ya udah kita balik duluan ya, Nin” kata Karisa, tiba-tiba.
                “oke, hati-hati ya” aku tersenyum tak enak pada mereka.
                Setelah mereka pergi, aku dan Raka langsung berjalan mencari tempat yang cocok untuk ‘mengobrol’.
                “kenapa, neng?” tanya Raka.
                “gue kemarin liat pesan facebook lo. Maksud pesannya Esa apa ya? Trus yang dari Edhi sama Bayu?” tanyaku tanpa basa-basi.
                Kulihat ekspresi wajah Raka sedikit berubah. “oh, yang itu. Nggak ada maksud apa-apa, biasa ceng-cengan sama temen-temen. Sama bang Sky juga, neng, liat kan?”
                “tapi kenapa agak aneh? Maksudnya bidan sama nanas apa?”
                “iya, temenku ada yang kuliah di kebidanan.”
                “seberapa jauh hubungan lo sama Esa?” aku to the point.
                “nggak kok, neng. Aku tau batasan. Kamu juga tau kan kalo’ zina itu dosanya besar banget? Empat ribu tahun. Aku berhubungan sama dia biasa aja, dia juga udah punya cowok kok”
                Aku melihat ada yang tidak beres dengan jawaban Raka. Itu semua terlihat dari cara ia menjawab berbagai pertanyaanku yang sering tidak sesuai. Aku juga melihat cara duduknya yang agak gelisah. Matanya yang tidak fokus sehingga terlihat sedang mencari kalimat yang tepat.
                Ah, dia merayuku. Dengan segudang cerita tentang keluarganya, tentang cita-citanya, tentang sekolahnya. Dan diakhir pembicaraan kami, dia juga merayuku. Memegang kedua pipiku dengan memperlihatkan ekspresi gemasnya terhadapku. Tidak, Raka, aku tidak akan bisa dirayu olehmu.
***

Selasa, 16 Agustus 2011
                Hari ini pengisian kartu rencana studi atau biasa disebut KRS. Raka bilang ingin mengisi KRS bersama denganku. Namun sudah seharian ini aku sama sekali tidak melihat batang hidungnya. Akhirnya setelah kupikir sudah terlalu sore, aku memutuskan untuk pulang karena ada acara buka puasa bersama dengan teman-teman Pramuka-ku.
                Dalam perjalanan, ada sebuah pesan masuk diponselku. Dari Raka. Dia meminta maaf karena seharian ini tidak ada kabar. Dia bilang kalau ia tertidur dan baru terbangun pukul 17:00. Aku percaya. Berpura-pura percaya lebih tepatnya.
                Aku sampai ditempat acara buka puasa bersama tepat ketika adzan Maghrib berkumandang. Aku melihat Fariz didekat pintu gerbang, tepat disebelah tempat air minum diletakkan. Ketika aku masuk, aku disambut dengan ledekan-ledekan iseng dari seluruh teman Pramuka-ku. Aku malu. Dan merasa tidak enak tentu.
***
                Ketika malam semakin larut, Raka mengirim pesan padaku. Dia berkata ingin bertemu denganku. Aku sudah bilang kepadanya bahwa aku sedang berada di acara buka puasa bersama teman Pramuka saat itu. Namun ia kekeuh ingin menemuiku sebelum ia pulang ke Bogor. Aku tidak dapat berbuat apa-apa selain menuruti kemauannya.
                Raka datang ketika aku sedang mencuci piring bersama Aya dan Feby. Aku hanya menemuinya sebentar dan meninggalkannya diluar gerbang sendiri. Teman-temanku sempat mempersilahkan Raka masuk, namun ia tidak mau. Malu katanya. Sampai saat itu kulihat Fariz melihat kearah aku dan Raka. Raka bertanya Fariz ada didalam atau tidak. Lalu aku menjawab kalau orang yang baru saja melihat aku dan Raka itu adalah Fariz.
                Akhirnya, setelah hampir 30 menit Raka aku tinggal sendiri diluar, aku menyelesaikan mencuci piring dan kembali menemui Raka. Teman-temanku kembali mempersilahkan Raka masuk, dan Raka pun menurut.
                Seketika itu kulihat banyak raut wajah tidak senang melihatku dengan Raka. Terutama Fariz. Aku hanya diam. Bahkan saat teman-teman seangkatanku mengajak aku dan Raka hang out didaerah tebet. Aku bimbang. Namun aku putuskan untuk pulang, karena waktu sudah menunjukkan pukul 23:06.
                Aku berpamitan kepada seluruh teman Pramuka, termasuk Fariz. Karena sebelumnya Fariz sudah berjanji untuk mengembalikan notebook-ku yang telah ia service, maka ia memberikan notebook itu didepan seluruh temannya. Aku bersalah pada Fariz. Karena setelah menerima notebook itu, aku menanyakan harga yang harus aku bayar kepadanya. Dengan ketus ia menjawab bahwa ia bukanlah seorang tukang service, niatnya hanya ingin membantuku. Mendapat jawaban dan sikapnya yang sangat dingin itu, aku merasa seperti didorong paksa kedalam jurang yang amat dalam. Sakit.
                Saat perjalanan pulang aku masih terngiang akan kata-kata Fariz yang membuat dadaku terasa sesak. Raka mengantarku pulang. Dan untuk pertama kalinya Raka mengantarku hingga dekat sekali dengan rumahku. Walaupun sebelumnya ia sering mengantarku pulang, namun aku tidak pernah mau diantar hingga dekat dengan rumahku. Untuk pertama kalinya juga, hari ini Raka bertemu dengan ayahku. Ayahku keluar dari komplek rumah ketika aku dan Raka sedang mengobrol saat itu. Raka bersalaman dan berkenalan dengan ayahku. Ayahku bertanya dimana rumah Raka dan semester berapa ia saat itu. Setelah menjawab pertanyaan ayahku, Raka pamit pulang.
***
                Hari-hari selanjutnya, aku masih berhubungan dengan Raka. Walaupun aku merasa kalau aku memang tidak ingin memiliki ikatan dengannya. Aku hanya berpikir bahwa tinggal menunggu hari untuk aku pergi darinya.
***
Senin, 29 Agustus 2011
                Hari ini aku berangkat untuk mudik bersama orang tua, kakak dan suami dari kakakku. Entah mengapa didalam perjalanan, aku ingin sekali membuka facebook dari ponselku. Kulihat komentar-komentar dari status teman kampusku yang salah satunya komentar dari Sella. Teman kampusku menjawab komentar itu dengan menunjukkan bahwa Raka adalah milik Sella. Aku merasa cemburu. Namun disisi lain, aku harus berpikir secara realistis. Raka telah mempermainkan aku. Seketika itu, aku benar-benar memiliki keinginan yang kuat untuk mengikis habis perasaanku pada Raka.
Selasa, 30 Agustus 2011
                Subuh hari ini, Raka menelponku. Dia hanya ingin tau kabarku. Setelah itu kami mengakhiri percakapan kami ditelpon.
                Siang ini, Sella memberi ucapan ulang tahun kepadaku. Ya, hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke-19. Dan hari ini juga, Sella memberikan nomor ponselnya kepadaku. Aku menghubunginya sore hari. Aku dan Sella membicarakan tentang Raka.
***
                Beberapa hari kemudian, aku dan Sella saling mengirim pesan kembali. Dan saat itu juga, Raka mengirim pesan kepadaku. Juga kepada Sella. Isinya? Sama tentu. Dan entah untuk berapa perempuan Raka mengirim pesan yang sama itu.
***
                Sudah seminggu setelah Raka mengirim pesan yang isinya sama kepadaku dan Sella, namun Raka tidak lagi menghubungiku. Awalnya aku merasa heran dan sedikit kehilangan, tapi aku berpikir bahwa itulah awal agar aku benar-benar telah mengakhiri kedekatanku dengan Raka.
                Di siang yang sangat terik ini, aku hanya menghabiskan waktu dengan menonton televisi dikamar Eyang Ti. Sangat malas melakukan apapun. Tayangan yang kulihat telah habis. Aku mengecek ponselku. Ada satu pesan yang masuk sebulan yang lalu, mengusik keingintahuanku. Nomor yang tak ku kenal. Namun isi pesan itu adalah namaku. Aku membalasnya.
               
To: 08787444xxxx
              Siapa nih?
       From : 08787444xxxx
              Ini siapa?
       To : 08787444xxxx
              Dih, kan lo duluan yg wktu itu sms. Siapa lo?
       From : 08787444xxxx
              Bkn siapa2 ko.
       To : 08787444xxxx
              Lo siapa? Jgn buat org pnasaran ya, dosa! Tau nmr gue dr siapa?
       From : 08787444xxxx
              Jgn marah dlu. Saya Dafian, tmn’y Risa. Saya tau nmr Anin dr Risa
       To : 08787444xxxx
              Ohh. Tinggal blg gtu aja susah amat
       From : 08787444xxxx
              Maaf ya buat Anin marah
       To : 08787444xxxx
              Oke.
       From : 08787444xxxx
              :)
       To : 08787444xxxx
              :)


End… :)
»»  READMORE...

the way you've hurt me (2)


Sabtu, 28 Mei 2011
                Aku duduk pada bingkai jendela kamarku. Sore ini langit sangat indah dengan warna jingga yang cukup terang, menandakan matahari mulai kembali keperaduannya. 17.05. Kulihat jam bergambar teddy bear di dinding kamarku. Kemudian kulirik ponsel berwarna hitam metalik milikku. Layarnya menyala. Getarannya terdengar. Karena profil diam yang ku pasang, deringnya menjadi tidak ada. Akupun berjalan mengambil ponsel itu, melihatnya. Ada  satu pesan masuk. Dari Raka. Siang tadi kami sempat berdebat karena satu hal yang tidak penting. Dan sekarang ia membahas tentang perasaan. Ah, aku sangat malas tentang hal ini. Namun memang ada yang harus kami bicarakan. Sampai akhirnya Raka memberitahuku tentang perasaannya kepadaku dan memintaku untuk jujur kalau aku juga memiliki perasaan yang sama sepertinya. Saat ini yang kurasakan adalah bahagia. Raka adalah orang yang baik, taat atas agamanya, aktif dalam kegiatan kampus dan cukup sopan dengan orang yang lebih tua darinya.
***
                Hubunganku dengan Raka semakin hari semakin meningkat. Kami memang tidak berpacaran karena Raka bilang ia ingin ta’aruf. Aku semakin kagum karenanya. Ia terlihat sempurna dimataku. Setiap hari ia mengantarku pulang. Bukan. Bukan berarti aku memanfaatkannya. Tapi karena ia yang menginginkan itu. Ia selalu bilang akan terus meluangkan waktunya untukku. Aku merasa senang akan hal itu.
***
Jum’at, 17 Juni 2011
                Hari ini Raka memintaku menemaninya mencari penyu karena ia tak tahu harus membeli dimana. Dengan sedikit paksaan darinya, akhirnya aku mau menemaninya karena aku tahu tempatnya. Raka menjemputku dikampus. Ia mengenakan kaus berwarna hijau muda berlengan pendek yang ditutup dengan sweater abu-abunya, serta celana jeans biru muda. Ia tersenyum melihatku.
                “Mau beli ditempat yang kemaren gue bilang?” tanyaku. Raka mengangguk memamerkan senyumnya lagi. “Ya udah” kataku ketika sudah berada diatas motornya.
                Dalam perjalanan kami hanya diam dengan pikiran kami masing-masing –mungkin –. PGJ. Tulisan yang terpampang pada sebuah pusat grosir didaerah itu. “Kita kemana nih?” tanya Raka.
                “Ke kanan aja, parkir disitu” tunjukku. Raka pun mengarahkan motornya kearah yang kutunjuk tadi. “Kalo nyasar jangan salahin gue ya” kataku sambil tertawa kecil.
                “Ya kamu lah yang aku salahin” Raka memeletkan lidahnya padaku. “Lagian nyasarnya berdua ini” Ia menaruh helmnya dan mengedipkan sebelah matanya padaku.
                Setelah itu, aku dan Raka berjalan menuju jembatan penyeberangan menuju tempat menjual hewan peliharaan. Saat ini sudah teramat sore. Jingga pada langit sudah jelas terlihat. Indah. Langit yang cerah. Tak terasa, senyumku mengembang.
                “Dimana tempatnya, Nin?” tanya Raka.
                “Tuh, tinggal belok kiri. Kalo disitu cuma ada satu tempatnya”
                “Tapi udah banyak yang tutup gini”
                Aku tak menjawab. Ketika sampai didepan toko kura-kura, toko itu sudah tutup. “Maaf ya, Ka, gue nggak tau kalo udah tutup. Trus gimana dong? Mau beli yang didepan jalan itu aja?” Tanyaku pada Raka dengan tak enak.
                “Ya udah nggak apa-apa, yang penting ada yang nemenin aku buat di kosan nanti” Raka tersenyum.
                Akhirnya aku dan Raka kembali ke jalan utama. Sementara Raka memilih-milih penyu yang lucu –katanya–, aku hanya berdiri memperhatikannya. Raka sempat meledekku, menggodaku yang memang agak tidak menyukai hewan, dalam jenis apapun. Penjual penyu yang berdiri didepan Raka hanya tersenyum melihat tingkah kami.
***

Sabtu, 25 Juni 2011
                From: Raka
              km jd ikut persami itu neng?
       To: Raka
              jd bang, knp?
       From: Raka
              gpp.
              ciee ktmu ma fariz nih..
       To: Raka
              ye apasih baang?
       From: Raka
              Penyunya mati :(
       To: Raka
              haha, baru jga 1minggu udh mati aja :p
       From: Raka
              km sih gg mau rawat
       To: Raka
              loh?? knpa jd aku?
From: Raka
              ya km gg mau bawa plg pas aku plg k bogor :p

                Aku dan Raka. Masih saling mengirimi pesan ketika aku mengikuti kegiatan persami. Bahkan hingga pagi ia menemaniku dengan candanya, perhatiannya dan juga kedewasaannya.
***
Senin, 27 Juni 2011
                (Hari ini aku pingsan di kampus. Mungkin lelah karena kegiatan persami kemarin.)
 Aku sedang menunggu Lidya yang sedang ke toilet. Kemudian aku bertemu dengan Sultan. Dia menanyakan aku sedang apa disini. ‘Menunggu Lidya’ jawabku. Tak lama setelah itu, Lidya pun keluar. Kami lalu kembali ke kelas. Namun baru beberapa langkah kami berjalan, aku merasa sangat pusing. Berkunang-kunang. Lalu gelap.
***
                Bau kayu putih menyeruak dihidungku. Aku membuka mata. Ruangan dengan cahaya yang sangat terang. Kulihat sekeliling. Ketiga sahabatku, Tika, Okta dan Hayati mengelilingiku. Raka juga ada. Dibangku dekat pintu. Sayup kudengar Zainal bicara dari luar bahwa Raka mengkhawatirkan aku. Mungkinkah? Sedangkan ia saat ini hanya sibuk dengan ponsel ditangannya.
***

                “Lo lagi deket sama cowok ya Nin?” tanya Cila, sahabatku sejak SMA. Saat ini aku sedang bertemu dengannya disebuah kafe.
                “Hhe, kok lo tau?” aku hanya nyengir.
                “Kayak gue baru kenal lo kemarin aja..” Cila melirikku. Cila yang notabane-nya jarang melihat lawan bicaranya memang hanya sekedar melirik orang yang sedang menutupi sesuatu darinya. “Namanya siapa? Anak mana?” tanyanya lagi.
                “Namanya Raka, temen satu kampus sih..” jawabku menggantung.
                “Fariz apa kabar?”
                Pertanyaan Cila membuat aku kembali teringat dengan Fariz. Fariz. Cowok yang lebih tua 2 tahun dariku –sama seperti Raka–. Dia sangat dewasa. Di tahun terakhir kuliahnya, ia memutuskan untuk terjun ke dunia kerja, demi tugas akhirnya. Dia seperti Raka. Menginginkan hubungan kami yang lebih serius. Pernikahan. Jika saat usiaku mencapai 25 tahun nanti.
                “Gue nggak tau, Cil. Gue ngerasa flat aja kalo sama dia sekarang. Mungkin karena sekarang udah ada Raka kali ya. Setiap hari ketemunya sama Raka kalo di kampus. Sama Fariz? Terakhir ketemu sih pas persami waktu itu, tapi yaa gitu, biasa aja. Raka alim, Cil. Ngajarin gue tentang ta’aruf, makanya sekarang dia nggak mau pacaran. Dan kalo diliat-liat sih orangnya nggak macem-macem.” Terangku pada Cila.
                “Aih, kayanya sekarang udah ada yang jatuh cinta beneran nih. Bagus lah kalo emang orangnya baik gitu.”
                Aku terus menceritakan hubunganku dengan Raka. Dan mungkin sedikit memperbandingkan antara Raka dan Fariz. Tentunya, Raka lah yang paling baik menurutku –saat itu.
***
Selasa, 5 Juli 2011
                Hari ini –seperti biasa– aku diantar pulang oleh Raka. Siang yang panas. Keluhku. Karena aku masih harus berjalan cukup jauh dari tempat Raka mengantarku. Raka tidak pernah aku ajak kerumahku. Entah mengapa. Walaupun aku menyukainya –mungkin lebih– aku merasa masih ada yang harus aku ketahui dari dirinya.
                Setelah 15 menit aku berjalan, akhirnya aku sampai dirumah. Sepi. Aku malas melakukan aktifitas apapun. Tidak membuka catatan kuliahku seperti biasa. Makan siang juga tidak. Akhirnya aku lebih memilih membuka laptopku. Online facebook. Seperti ada suatu dorongan yang kuat, yang pertama kali aku lihat adalah profil facebook Raka.
                Sella ‘laila gina’.
                Siapa nih? Pikirku.
                Akupun membaca tulisan yang gadis itu kirim pada dinding facebook Raka. Kemudian melihat profil gadis itu. Perasaanku tak enak. Apa dia pacarnya? Batinku. Tapi Raka pernah bilang nggak mau pacaran. Tapi kok kayak mesra gitu ya? Aku bertanya-tanya pada diriku.
***
                Hari-hari berikutnya aku lewati seperti biasa. Ditambah dengan ledekan sahabat dan teman-teman sekelasku yang mengetahui kedekatanku dengan Raka. Seperti hari ini.
                Kami sedang mengerjakan tugas yang diberi oleh dosen Lab.Akuntansi. Karena diperbolehkan berdiskusi, akhirnya aku dan teman-teman yang sudah sangat saling mengenal membuat lingkaran agar mempermudah jalannya diskusi, termasuk Raka dan kedua temannya. Sultan dan Zainal. Disela-sela perdiskusian tugas, sahabatku Wulan meledekku yang hari itu memakai baju yang warnanya sama dengan Raka. Aku hanya diam dan tersenyum. Malu. Namun Raka sempat membalas ledekan itu.
                Tugas yang diberikan oleh dosen kami akhirnya selesai. Kami hanya harus menunggu giliran dipanggil untuk menyerahkan tugas. Saat itu aku melihat betapa sangat berantakan barang-barangku dan barang-barang teman-temanku. Bahkan aku lupa kalau aku membiarkan ponselku tergeletak begitu  saja didepan meja sahabatku yang sangat usil. Karisa.
                Disaat aku sedang bosan menunggu giliranku, aku mencoba untuk memainkan ponselku. Namun ketika aku mencari disaku celanaku, aku tidak menemukannya. Begitu juga ditasku. Ah, ini pasti ulah sahabat-sahabatku yang usil. Pikirku. Aku pun langsung bertanya pada mereka, namun mereka hanya menjawab tidak tahu. Hingga seluruh teman dikelasku termasuk dosen aku tanyakan, tetap tidak ada yang tahu. Tapi tetap saja aku yakin bahwa salah satu dari sahabatku yang menyembunyikannya.
                “Nin, lo belum tanya sama Raka kan hp lo sama dia apa nggak?” tiba-tiba Wulan berkata seperti itu. Aku kaget. Bingung. Kenapa jadi Raka?
                “Ah, elo tuh Mam, mana hp gue? Sini ahh” pintaku manja.
                “Coba dulu Nin, lo tanya Raka” kata Karisa.
                “Jangan iseng sih, balikin napaa..” rengekku.
                “Aku nggak ikutan ya Nin” Lidya menyambung.
                “Bodo ah mau ikutan apa nggak, cepet sini balikin sih” kataku sambil cemberut. Teman-teman sekelasku yang lainpun ikut meledekku dengan menyuruhku bertanya pada Raka.
                “Eh, Ka, balikin tuh hp-nya Anin. Kasian tau” kata Wulan sambil cengengesan.
                “Loh? Kenapa jadi gue, Lan?” Raka bingung.
                “Nih ya, Nin. Lo coba aja cek tasnya Raka. Pasti hp lo ada disitu deh” kata Wulan. Karisa semakin cengengesan menahan tawanya.
                “Ah, apaan sih? Buru deh, balikin”
                “Yee, lo minta tuh sama Raka” kata Wulan lagi. Aku hanya diam. Pura-pura ngambek.
                Tiba-tiba Wulan mengambil sesuatu dari tas Raka. Ponselku. “Nih, bener kan sama Raka? Nggak percaya sih.” Kata Wulan yang menunjukkan ponselku tapi tidak langsung diberikan kepadaku. Karisa yang melihatnya langsung tertawa terbahak-bahak. Lidya hanya tersenyum sambil memberi isyarat bahwa ia tak ikut dalam ‘permainan’ ini.            
                “Ya udah sini” aku meminta pada Wulan.
                “Nih, Ka, kasih ke Anin” Wulan menyodorkan ponselku pada Raka. Teman-temanku yang lain –hampir sebagian kelas– meledekku.
                Aku hanya duduk lemas bersender di bangku.
                Raka menerimanya. “Nih, Nin” kemudian memberikannya padaku.
                “Saya terima nikahnya Anin, dengan handphone Sikia, tunai” kata Sigit menyambung.
                “Yaahh, mas kawinnya masa hp sih, Ka?” kata Zainal.
                “Berisik!” omelku pada teman-teman usilku itu. Entah seperti apa mukaku saat ini. Mungkin udang rebus yang merah itu kalah. Malu sekali aku.
***
                “Maaf ya neng, aku tadinya nggak mau ikutan isengin kamu. Tapi Wulan maksa, trus langsung ngumpetin hp kamu di tas aku.” Kata Raka ketika kami dalam perjalanan pulang.
                “Rese’ kan, malu banget tau tadi”
                “Iya, muka kamu sampe merah gitu tadi” Raka tertawa.
                “Ih, males ah sama lo, Ka” kataku, ngambek.
***
Selasa, 19 Juli 2011
                Hari ini dosen ekonomi-ku menyuruh kelompokku menyerahkan tugas kerumahnya. Margonda. Kami tidak ada yang tahu dimana tempatnya. Aku hanya mengetahui bagaimana kita semua dapat pergi kesana.
                Setelah selesai dengan UAS hari ini, Raka, Sultan dan Zainal datang. Rencananya memang aku ingin bicara dengan Raka sebelum kerumah dosenku.
                “Kamu mau tau apa dari aku, Neng?” tanya Raka.
                “Semuanya” kataku, tegas. “Siapa itu Sella, apa hubungan Raka sama Sella. Gue Cuma nggak mau jadi orang yang ngehancurin hubungan orang lain” jelasku.
                “Aku emang deket sama Sella. Sama kayak aku deket sama kamu, Nin.”
                “Dia tau gue?”
                “Iya, dia tau kamu, sekarang kamu tau dia”
                “Pacaran?”
                “Aku sama dia deket dari kelas 3 SMP sampe kelas 3 SMA. Setelah itu lost contact, tapi setahun terakhir kita contact-contact-an lagi sampe sekarang” Raka menghela napas. “Orang tuanya dia pengen dia cepet nikah setelah dia lulus. Karena emang dia yang belum nikah. Tapi kalo sama aku nggak mungkin. Terlalu jauh. Kamu ngerti kan?”
                Aku hanya diam. “Trus?”
                “Ya kamu sama dia sama. Intensitas aku sama dia dan aku sama kamu itu sama. Kamu nggak lebih, dia juga nggak lebih. Kamu nggak kurang, dia juga nggak kurang. Tapi aku coba untuk serius sama kamu neng”
                “Anin, kita ke depok naik apa nih?” teriak Acha dari luar kelas. Aku dan Raka mengobrol didalam kelas dengan pintu terbuka dan aku duduk tepat didepan pintu sehingga memudahkan teman sekelompokku dapat melihatku.
                “Terserah, mau naik kereta aja?” kataku.
                “Raka tau nggak, Nin, tempatnya?” Karisa menyambung.
                “Lo tau Margonda nggak, Ka?” tanyaku pada Raka.
                “Tau kok, nggak jauh dari rumahku”
                “Raka, lo mau ikut kita nggak kerumah Pak Anam? Di Margonda, Ka. Tuh alamatnya ada di Anin. Mau ya, Ka? Sekalian lah jalan sama Anin.” Kata Karisa lagi.
                “Ya udah, tapi Sultan sama Zainal ikut kan?”
                “Gue kagak, Ka, mau nganter nyokap” kata Sultan.
                “Gue juga nggak bisa, Ka” sahut Zainal.
                “Yah, masa gue cowok sendiri sih?”
                “Kan ada Anin, Ka” ledek Acha.
                “Ck, ya udah deh” Raka pasrah.
***
»»  READMORE...

the way you've hurt me (1)


Kamis, 19 Mei 2011
Seorang gadis berjalan sendiri menuju loket karcis busway yang cukup sepi saat itu.  Setelah membeli karcis, kemudian ia menyerahkan karcis tersebut untuk disobek kepada petugas yang ada disana. Karena busway yang akan ia tumpangi belum datang, akhirnya ia memilih untuk duduk sambil melihat disekelilingnya. Sepi.
Gadis itu adalah aku. Anin. Affina Aninnas lengkapnya. Umurku saat ini 18 tahun (yah walaupun sebentar lagi 19 tahun siiih). Aku mahasiswi semester II jurusan pajak disalah satu universitas swasta di Jakarta. Aku juga seorang penyiar radio di kampusku. Sekilas tentang aku. And now, back to story….. :)
Lima menit kemudian akhirnya busway yang aku tunggu datang. Setelah masuk, aku lebih memilih untuk berdiri karena aku harus transit kearah Matraman yang letaknya cuma satu shelter dari tempatku datang tadi. Sampai di Matraman aku langsung transit ke Matraman 1 untuk melanjutkan perjalananku ke PGC. Tiba-tiba, drrrtt drrrtt especially for you…. drrrtt. Bunyi tanda pesan diponselku.
From :  Lidya
       nin, nanti klo udh dket pgc, sms aku yaa
Langsung aku balas..
To :  Lidya
       iya, skrg aku d matraman nih
Send…

Busway yang aku tunggu datang. Aku langsung masuk lewat pintu belakang. Setelah agak lama aku duduk, aku merasa kepalaku pusing. Badanku dingin dan berkeringat. Aduh, kenapa nih? batinku. Ah, ya, aku tadi belum sempet sarapan. Pantes aja pusing. Baru sampai di Bidara Cina. Itu artinya masih jauh dari PGC. Berhenti gak ya? Kepalaku pusing banget. Hufft, mual!
Tak terasa sudah sampai di Cawang UKI. Tapi perutku malah tambah mual. Akhirnya aku memutuskan untuk turun dishelter berikutnya. Setelah turun, aku langsung cari tempat duduk, aku tidak kuat berdiri lama-lama. Lima menit aku istirahat, aku mengecek suhu badanku. Panas dingin‼ Bajuku basah semua‼ Ah, kuat Anin.. Kuat! Eh, tapi aku dimana ini?? Aku baru sadar kalau aku tidak tahu turun di shelter mana. Aku melihat sekeliling. Clingak-clinguk. Gedung BNN. Aku mengambil ponselku dari dalam tas. Mengirim pesan pada Lidya.

To :  Lidya
lid, sorry nih agak telat. aku turun dlu d dpan gdung bnn. kpala aku pusing bgt..
Send….
Tiga menit kemudian. Drrrtt drrrtt especially for you drrrtt..
From:  Lidya
       hah. km knp? bwa mnum?
To:  Lidya
       gtau, tiba” pusing bgt. ga bwa. tp untung ada permen karet d tas, jd aku mkn aja. kmu dmana?
From:  Lidya
              aku lg otw sm vian. km istrhat dulu aja ya. nanti klo udh mndingan bru jln lg..
To:  Lidya
              oke!

Setengah jam kemudian aku baru merasa agak lebih enak. Tinggal menunggu busway datang saja. Tujuh menit kemudian, busway ke PGC datang. Aku masuk mencari tempat duduk. Ya Allah, kuat Anin, kuat… batinku. Sampai di PGC, aku langsung mencari Lidya di Halte Walk.
Drrrtt drrrtt especially.. belum sampai selesai ponselku berbunyi, aku langsung membukanya. Pesan.
From:  Lidya
              jgn lemes gtu dong cantik. semangat! aku d dpan kmu. lurus aja.

Tanpa ba-bi-bu lagi, aku langsung melihat kearah depan. Sekitar 10 langkah lagi, aku melihat gadis berkerudung pink, baju bunga-bunga pink dan rok jeans panjang. Lidya. Aku langsung senyum padanya.
“Kamu udah gak apa-apa?” tanya Lidya.
“Gak apa-apa kok, untung tadi aku makan permen karet jadi lumayanlah..” jawabku. “Kita mau kemana nih?”
“Disitu aja, kan mau internetan gratis. Haha” jawab Lidya sambil menunjuk salah satu tempat yang memang menyediakan hotspot gratis.
“Haha, dasar.” Aku nyengir lebar. “Vian kemana?” tanyaku.
“Ke kampus, makanya tadi sekalian”
“Ohh..” Aku menaruh tasku dan duduk disamping Lidya.
Kami pun langsung mengeluarkan notebook kami masing-masing, menyalakannya, lalu meng-connect ke internet. Niatnya sih mau ngerjain tugas makalah, tapi yang dibuka pertama kali adalah….. FACEBOOK‼ hahaha.
“Waduh Nin, kok aku gak bisa connect ya dari tadi? Kamu bisa?” tanya Lidya.
“Bisa kok, cepet malah loadingnya.”
“Wah, kenapa nih?”
“Yah, gak ngerti aku,” sambil melihat notebook Lidya.
Sementara Lidya masih mengutak-atik notebooknya, aku malah asyik FB-an sendiri. Haha, nggak pedulian amat ya?? Blup. Chat masuk. Dari Raka.
Raka: tugas udh?
Anin: blm, bkan’a ngrjain tgas tp malah ol, haha. lo udh?
Raka: aku udh, tinggal d print aja. kmu ol dmna?
Anin: d halte walk,pgc
Raka: wewh, jauh amat kmu main’a
Anin: gpapa, ngebolang :D
Raka: udh mkn siang blm? td sarapan?
Anin: blm sarapan td, mka’a smpet pusing pas d busway :(
           mkn siang bntar lg
Raka: tuh kan. knpa td ga sarapan? kmu sma siapa dsna?
Anin: ga smpet, lupa jga mngkin :D
           sma lidya
Raka: owh, yaudh nnti jgn lupa mkn siang.
           aku off dlu yaa, mau sholat. kmu jgn lupa sholat yaa.. :)
Anin: oke :)


“Ciee, chatting sama Raka…” ledek Lidya.
“Haha, ngebahas tugas Lid.” Kataku. Cengar-cengir.
“Dari tugas jadi ke makan siang ya?”
“Haha, tau aja. Jadi enak.” Lidya memeletkan lidah kearahku.
Akhirnya kami saling cerita tentang Raka dan Vian. Vian itu pacarnya Lidya. Beda setahun diatas kami. Dia mengambil jurusan biologi disalah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta. Lalu kami melanjutkan lagi mencari bahan untuk tugas. Setelah mencari-cari dan dapat banyak bahannya, kami mengobrol lagi ngalor-ngidul. Tanpa terasa juga sudah jam setengah dua siang dan kami kelaparan. Tapi tugas belum selesai dikerjakan karena masih harus disusun rapi menjadi makalah. Dan karena baterai notebookku lemah, akhirnya kami memutuskan untuk kerumah Lidya setelah membeli makanan.
***
Setelah selesai makan, kami berdua mencari angkot yang kearah rumah Lidya. Didalam angkot, Lidya menceritakan dan memberitahu tahu tentang sekolah-sekolahnya dulu dimana. Tentang keluarganya. Tentang teman-temannya. Dan banyak lagi. Akhirnya…
“Pak, kiri pak..” ucap Lidya pada sopir angkot. Lalu ia memberi selembar uang kepada sopir angkot tersebut. Aku dan Lidya turun. Kami harus berjalan sekitar 600 meter untuk sampai dirumah Lidya. Sampai dirumah Lidya, aku disambut oleh mamanya Lidya.
Mamanya Lidya sangat baik. Baru datang saja udah disuruh makan. Tapi aku menolaknya karena sudah makan siang tadi dan mau langsung mengerjakan tugas. Sedang asyik-asyiknya kami mengerjakan tugas, ponselku berbunyi. Ada pesan masuk.
From: Raka
              anin, msh d PGC?
Aku balas..
To: Raka
              ga, lg drumah lidya
From: Raka
              rmh lidya kan jauh. nti km plg ma spa?
To: Raka
              sndiri lah, emg mau sma siapa?
From: Raka
              yaudh nti aku jmpt. km plg jam brp?

To: Raka
              hmm? gaush, ngrepotin. lgan blm jlas mau plg jam brapa
From: Raka
              ga koq. yaudh nti km sms aku aja klo dh mau plg yaa..

“Udah Nin, mau aja. Nanti pulangnya kemaleman loh” kata Lidya yang mengetahui Raka ingin menjemputku.
“Ya tapi aku gak enak lah Lid” sahutku sambil memandangi ponselku.
“Gak enak kasih kucing aja, hehe” ledeknya.
“Ish, dasar. Tapi kok dia tiba-tiba mau jemput aku ya?”
“Namanya juga CIN-TA” Lidya menekankan kata cintanya.
“Jiah, cinta. Mane ta…?” candaku.
***
Tak terasa waktu menunjukkan pukul 17.58 ketika kulihat jam di ponselku. Adzan maghrib pun berkumandang. Lidya pamit kepadaku untuk melaksanakan sholat tanpa mengajakku karena ia tahu aku sedang ‘libur’. Aku pun duduk sendirian diruang tamu rumah Lidya. 10 menit kemudian Lidya datang. Setelah selesai sholat. Lalu ia menawariku untuk makan malam sebelum aku pulang. Aku menolak. Tapi mama Lidya tetap menyuruhku untuk makan malam. Lidya langsung mengambilkan makan malam untukku.
“Lid, apaan sih? Jadi nggak enak tau..” kataku.
“Yaudah sih makan aja,” jawabnya.
“Tapi ini banyak banget, emangnya aku ini kamu apa?”
“Haha, biar gemuk Nin..” ledeknya. Aku pun memulai makan malamku sambil menunggu Raka menjemputku.
“Raka sekarang dimana?” tanya Lidya.
“Nggak tau”
“Lah?? Sms lah”
“Males. Ntar dikira ngarep banget lagi”
“Ck, masih aja gengsi. Gengsi nggak pulang loh. Sini deh aku yang sms” Lidya langsung mengambil ponselku. Aku hanya pasrah memperhatikan Lidya mengutak-atik ponselku.
“Sms Raka apa Lid?” tanyaku, setelah Lidya selesai mengirim pesan pada Raka.
“Nanya lagi dimana” jawabnya. Tak lama, Raka membalas pesan itu.
“Ha???” pekikku, kaget. Lidya pun tersontak mendengarku.
“Kenapa Nin?” tanyanya, khawatir.
“Raka nyasar. Masa dia di Jatinegara. Jauh amat”
“Kok bisa? Telpon dong Nin, kasian itu anak orang” kata Lidya. Aku langsung menelepon Raka. Tuut.. tuut.. “Halo, Assalamu’alaikum..” salam orang yang ku telepon. “Wa’alaikumsalam. Raka dimana? Nyasar beneran? Dimananya?” tanyaku panjang. “Aku di Kramat jati, tadi salah baca. Trus aku kemana lagi nih?” tanyanya. “Waduh, aku nggak tau kemana lagi. Kamu ngomong sama Lidya aja ya? Bentar..” aku langsung memberikan ponselku pada Lidya. “Halo, Rak?” Lidya mulai berbicara. “Oh, yaudah lo ke Komseko aja. Tunggu didepan sana, nanti gue anter Anin kesana”. “Oke. Tunggu ya”. Lidya menutup teleponnya.
“Nin, Raka aku suruh tunggu di Komseko, nanti aku anter kamu kesana” kata Lidya.
“Hmm, nggak apa-apa?” tanyaku sambil menyelesaikan makanku.
“Emang mau kesana sendirian? Malem-malem nyasar, aku nggak tanggung loh” Lidya cengengesan. Aku mengangguk-angguk menuruti. Setelah selesai makan malam, aku bersiap untuk pulang dan pamit kepada kedua orang tua Lidya. Ayahnya sudah pulang dari kantor saat maghrib.
***
Sampai didepan Komseko, aku dan Lidya melihat cowo’ duduk diatas motor matic-nya. Raka. Aku menghampirinya. Berbicara sebentar padanya, kemudian aku pamit pada Lidya. Lalu aku menaiki motornya. Canggung. Bahkan sangat canggung, karena baru pertama kali Raka menjemputku. Dan baru pertama kali pula aku bersamanya. Dalam perjalanan aku diam saja karena tak ingin mengganggu konsentrasi Raka mengendarai motor. Atau mungkin aku tak tahu ingin berbicara apa. Entahlah. Satu jam kemudian, aku melihat gedung baru yang merupakan kampus yang sudah mempunyai nama di Jogjakarta.
“Aku turun disini aja deh, Ka,” aku agak mengeraskan suaraku agar terdengar olehnya.
Raka pun menghentikan motornya. “Emang rumah kamu dimana?” tanyanya kemudian.
“Udah deket kok, tinggal nyebrang, masuk gang itu, terus lurus aja. Nyampe kok.” Jawabku, tersenyum pada Raka. Dia mengangguk dan membalas senyumku. “Aku pulang ya. Makasih udah nganter.” Seruku.
“Iya, hati-hati ya”. Aku mengangguk dan meninggalkannya yang memperhatikanku.
***


Rabu, 25 Mei 2011
                “Hari ini terakhir ngumpulin tugas makalah kan ya?” tanya Karisa, sahabatku dikampus selain Lidya. Saat itu kami berempat –aku, Lidya, Karisa dan Wulan- masih dikelas setelah mata kuliah English II selesai.
                “Iya. Eh lo dapet berapa lembar?” tanya Wulan pada kami bertiga.
                “Gue 8” Jawabku.
                “Gue 12. Emang lo berapa mam?” Lidya balik bertanya pada Wulan yang sering kami panggil Mami.
                “Wah, pada banyak ya, gue Cuma 5. Haha. Kalo lo berapa Kar?” tanya mami pada Karisa yang sedang asik bernyanyi. Karisa memang memiliki suara yang bagus ketika menyanyi. Dia juga orang yang supel.
                “Gue 9 lembar, tapi belum diprint, lo semua pada belum juga kan?” tanyanya. Kami mengiyakan.
                “Yaudah kita nge-print sekarang yuk, kalo nanti takut penuh” usul Lidya. Kami berempat pun langsung meninggalkan kelas dan berjalan keluar kampus menuju rental print langganan disamping kampus.
                Aku, Lidya, Karisa dan Wulan memang bersahabat, tapi bukan membuat genk. Semua orang menganggap kami terlalu membuat batasan dalam hal pertemanan, padahal kami berteman dengan siapa saja. Tapi walaupun begitu, masih banyak teman-teman di kampus yang ingin berteman dengan kami.
                “Wah, penuh banget. Kalo nunggu semuanya selesai mah ga bakalan keburu nih. Gimana dong?” tanya Wulan.
                “Yaudah kita cari tempat lain aja, ambil motor dulu mam” kata Lidya pada Wulan.
                “Gue sama Anin tunggu sini ya” kata Karisa pada Lidya dan Wulan.
                Akhirnya kami berempat mencari tempat print dengan menggunakan motor. Setengah jam kami berkeliling, akhirnya kami menemukan tempatnya. Sambil menunggu antrian, Lidya bertanya kepadaku tentang hubunganku dengan Raka. Akupun mulai menceritakan semuanya.
***
»»  READMORE...